Read more »
Langit-langit malam membawaku dalam lamunan panjang, seakan tak ingin berhenti memandangi warna bulan yang anggun lagi menawan. Bulan Juli merupakan bulan penuh keistimewaan yang tiada didapat pada 11 bulan lainya . Ramadhan sudah barang tentu adalah bulan yang dinanti-nantikan seluruh umat muslim sedunia. Ditahun ini Ramadhan jatuh pada bulan Juli, tentu aku dan seluruh umat muslim disegala penjuru dunia menyambutnya dengan hati gembira. “Pada bulan itu ditutup pintu-pintu neraka, dibuka pintu-pintu surga, dan setan-setan dibelenggu” begitulah sebuah hadist yang memaparkan akan keutamaan bulan Ramadhan. Andai tahun depan Ramadhan masih datang menghampiriku, tentu akan kumaksimalkan kembali ibadah-ibadahku. Karena aku merasa masih jauh dari kesempurnaan, aku merasa masih jauh dari amalan-amalan yang akan menolongku kelak di hari pembalasan dimana tiada naungan kecuali naungan-Nya. Tapi bulan itu sudah pergi, percuma saja aku meratapinya, bulan itu kini berganti dengan bulan Syawal yang menjadi kembalinya manusia pada hati yang fitri ibarat bayi yang baru dilahirkan, semoga aku, kau dan kita semua menjadi satu diantara hati yang suci tersebut. Aamiin!
Masih teringat akan cahaya purnama dimalam itu, bulan yang sudah sempurna bundar memancarkan cahaya keelokan pikiran. Beduk sudah terdengar menandakan saatnya berbuka puasa, setelah seharian penuh menahan haus dan lapar kini telah diperbolehkan makan dan minum sepuasnya. Ayah, Ibu dan Aku telah berada di meja makan dengan berbagai menu makanan yang siap untuk disantap. Kolak pisang menjadi menu favorit saat berbuka, ditambah berbagai jenis gorengan dan segelas teh hangat siap mengisi si perut malang ini. Tak lama kemudian Iqamah telah dikumandangkan dari menara mesjid dekat rumahku, petanda ibadah shalat Maghrib akan segera dilaksanakan, aku segera menghentikan makanku untuk segera kemesjid. Sembayang tiga rakaat yang menjadi bentuk penghambaan kepada sang pencipta, benar-benar membuat hati setiap insan menjadi tentram. Tiada nikmat senikmat beribadah kepada-Nya.
Langkah kaki kian melangkah keluar mesjid, membawa sejuta kebahagian karena puasa hari ini dapat terlewati dengan segala macam godaan hawa nafsu. Langkahku menjadi semakin penuh harapan setelah aku menengok keatas. Begitu indah purnama malam ini, sucinya bulan disinari cahaya yang membias penuh keharmonisan dunia. Berharap setiap malam seindah ini, tiada noda bila memandangnya, hati-hati manusia diselimuti cinta serta kedamaian tanpa pertikaian, senantiasa menjadi harap dan doaku dalam purnama malam . Purnama memang indah, sangkahku ini adalah purnama terindah sepanjang hidupku. Maha karya yang sungguh luar biasa, tiada satu manusiapun yang bisa menciptakan persis seperti ini, sedikit menyerupaipun tak mungkin bisa. Aku yakin itu.!
Suasana sunyi didesaku memang menjadi sesuatu yang akan dikangeni bila jauh.
Apabila aku berada dikota pasti desaku menjadi tempat kerinduan ingin bergolek santai, karena jauh dari keramaian dan bising suara mesin bermotor. Sejak hari pertama Ramadhan jama’ah yang mengisi untuk shalat Isya dan Taraweh dimesjid memang ramai, terdiri dari 3-4 shaf lain dengan hari-hari diluar Ramadhan yang hanya 5-10 orang. Semangat awal Ramadhan memang sungguh kental terasa tetapi suasana itu tak berlangsung lama. Memasuki pertengahan sampai akhir Ramadhan semangat orang-orang untuk beribadah semakin kendur, jama’ah pun semakin berkurang dratis menyusut tinggal 1-2 shaf. Itulah yang terjadi banyak kesia-siaan yang diperbuat masyarakat didesaku, sepertinya mereka belum tercerahkan dan selayaknya menjadi tanggung jawab kita bersama untuk saling nasehat-menasehati. Semoga Ramadhan tahun depan masyarakat didesaku dapat segera tersadar betapa indahnya berpuasa dengan segala ibadahnya.
Pikiranku masih terus berimajinasi menerawang menembus ruang tanpa batas. Kedipan mata semakin anggun dan bijaksana serta diikuti oleh detak jantung yang terus berdetak memompa harapan masa depan. Sarung biru melilit dipinggang menutupi kaki sedikit diatas tumit lengkap dengan baju koko dan kopiah putih menjadi penampilan tersolehku disepanjang abad. Penampilan memang bukan segalanya, tapi setidaknya dengan penampilanku malam ini aku dapat khusyuk dalam beribadah. Hampir setiap malam dibulan Ramadhan kujadikan momen peribadatan terharmonis, setelah lebih dari satu jam menjalani ritual shalat Taraweh di mesjid, kini aku beranjak pulang kerumah. Sekat halaman Quran yang aku tandai dengan benang berwarna putih kembali aku buka meneruskan bacaan semalam. Ya Ramadhan memang menjadi ritual paling tepat untuk mengkhatamkan Quran, sistem kebut-kebutan kini aku terapkan demi mengejar target dua kali khatam. Mesti tak terkejar sesuai keinginan, setidaknya sudah menjadi niatan yang baik.
Enam lembar bacaan Quran dimalam ini membuat mataku sayup-sayup merasakan kantuk. Dilawanpun tak akan sanggup dan aku memilih untuk menyudahinya barang kali subuh nanti akan kusambung lagi. Kuletakan tubuh ini diatas bayang dan kasur empuk menjadi teman mesraku malam ini, menatapi langit-langit atap rumah ternyata disana ada pikir-pikir kecil yang terkumpulkan menjadi satu harapan dialam nyata sebelum aku tertidur nantinya. Sembari berharap aku bisa berpolitisi mimpi yang dapat mendudukan ku di kursi kebahagian, “harapan semu menjelang tidur” menjadi keelokan imajinasi tingkat tinggiku.
Sahur..sahur..sahur.. suara ramai pada pukul 03.00 Wib dini hari kian membangunkanku, mata kian terbuka jiwaku kini kembali dalam raga dan pulang kedunia nyata. Ternyata ibu telah bangun lebih awal dariku, suara wajan beradu dengan sutel yang menjadi suara merdu dini hari ditambah aroma gulai ayam menyengat hingga kerongga hidung. Hem.. harumnya! Masakan ibu memang tiada duanya, asin manisnya pas, pedasnya pas aroma daun serai kian menambah selerah makanku pagi ini. Nasi putih dan sayur gulai ayam sudah tersedia dimeja, tanpa buang waktu kamipun segera makan sahur.
Hampir terlupakan bahwa dilangit sana masih ada purnama, sangat disayangkan bila dilewatkan. Melihat kembali purnamaku, benar saja indahnya masih ada walau kini semakin menjauh kearah barat seakan bergatian dengan matahari yang akan segera terbit dari timur, masih serupa dengan dulu berputar pada porosnya. Suara sahutan ayam memecah subuh, keheningan tersirat lembut diikuti angin dingin yang sedikit nakal membuat setiap insan terlena ingin menarik selimutnya kembali. “Shalat lebih baik dari pada tidur” suatu kata yang menguatkanku, melawan kantuk menunggu sembayang subuh yang tinggal beberapa menit lagi. Proses penghambahaanku kini berlanjut lagi, shalat dua rakaat berjamaah sangat membuatku bergairah untuk menjalani puasa.
Memasuki bulan Agustus semakin menunjukkan Ramadhan akan segera berakhir, bertepatan pada 8 Agustus 2013 hari raya Idul Fitri menyambut umat Islam. Hari yang menjadi ajang maaf-memaafkan, hari kemenangan setelah menjalani ibadah puasa sebulan penuh. Tradisi orang Indonesia biasanya diwarnai dengan mudik “pulang kekampung halaman”, suatu tradisi yang akan selalu dirindu setiap tahunnya. Pulang kekampung bertemu dengan orang tua, keluarga sampai teman-teman lama, membuat keharmonisan dalam bingkaian ukhuwah. Tak lupa juga akan penyambutan hari raya yang mewah akan makanan, mulai dari segala jenis roti kering, keripik, kue bawang, daging, lemang, ketupat dan masih banyak jenis makanan lainnya yang tak mungkin bisa disebutkan satu persatu disini. Namun yang menjadi menu favoritku tentu ialah rendang daging, makanan no 1 terlezat didunia asal Sumatera Barat itu mampu membuat lidahku bergoyang riya. Malam sebelum hari raya suara takbir menggema, bertakbir mengagungkan kebesaran-Nya. Hujan yang turun dimalam itu mengisyaratkan isi hati bumi, bahwa bumi juga bersedih meninggalkan Ramadhan dan juga memberikan rahmat-Nya bagi seluruh alam.
Hujan juga menjadi penghalang para remaja dan anak muda untuk keluar bermain. Biasanya orang-orang didesaku selalu menghabiskan waktu dimalam takbir dengan segala permainan dunia, berpacaran, bersundau gurau mengendarai motor mengexpresikan gaya sesukanya ada juga yang membakar-bakar uang dengan membeli petasan yang hampir menyerupai sebuah bom. Luar biasa suaranya cetar membahana diantara langit-langit angkasa, membuat jantung orang-orang tua hampir berhenti berdetak. Tapi syukurlah, malam ini dengan turunya hujan membuat suasana seperti itu tak terjadi, hanya gema takbir melalui pengeras suara mesjid yang meramaikan suasana takbiran didesaku malam ini.
Pagi pukul 08.00 Wib Shalat ‘Id dua rakaat dilaksanakan, yang terdiri dari tujuh takbir di rakaat pertama dan lima takbir di rakaat kedua dimana diantara takbir ketakbir melapaskan “Sub-haanallaahi wal hamdulillaahi walaa ilaahaillaahhuwallaahu akbar”. Ratusan mungkin juga ribuan jama’ah mengisi ruang mesjid bahkan meluas hingga kepelataran mesjid. Hari kemenangan kian kental terasa, persatuan dan kesatuan umat Islam begitu indah terlihat. Andai setiap hari, setiap bulan bahkan setiap tahunya umat Islam seperti ini, alangkah damai dan tentramnya bumi ini, alangkah sucinya hati-hati manusia karena senantiasa saling bermaaf-maafan.
Hari raya pertama menjadi momen berkumpulnya seluruh keluarga, begitu pula dengan kami. Ayah dan ibu terlihat senang, itu tampak dari senyum setitik dipipi mereka. Mereka tentu merasa senang karena ketiga anaknya kini berkumpul riya, kami pun melakukan ritual sungkeman yang menjadi wujud kehormatan kami kepada kedua orang tua. Kakak dan Abang lebih dulu sungkeman sembari berbaris menunggu giliran permohonan maaf, rasa bersalah terblesit dihati mengakui segala kesalahan serta kekhilafan.
Sampai sekarang purnama bulan Juli menjadi cerita termewahku, purnama memang masih akan terus terjadi setiap bulanya, namun Juli yang terhebat. Aku jatuh cinta padamu dan andai purnama datang kembali.
Medan
22 August 2013
Restu Syahputra
0 Reviews