AWAN DAN JINGGA

AWAN DAN JINGGA

Size
Price:

Read more »

                

 

                Malam menghantarkan sayup-sayup sunyi dalam gelap, langkah mencari kehidupan yang memang jarang berjumpa pada keramaian, Awan berhenti bersama temannya Zanah. Malam itu dua perawakan lelaki itu mengendarai motor bebek berkeliling kekampung sebelah, bebek Zanah melesat dan tertuju ke segerombolan wanita-wanita di salah satu jalan dalam gang. Tentu saja wanita-wanita di desa masih punya etika kesantunan yang baik, lain halnya dengan wanita di kota yang telah tercemari oleh kehidupan glamor ala Amerika. Zanah lantas menyapa para ladies-ladies itu dengan gayanya  yang sok impressivce berusaha memikat pesona para ladies-ladies desa dan berharap salah satu dari mereka tertarik padanya. Bermodalkan pengalaman yang ia punya, lantas tak menjadi hal sulit untuk sekedar akrab kepada lawan jenisnya itu, berselang beberapa menit perbincangan terjadi, saling sapa dan saling kenal menyisakan keangkuhan diri masing-masing pribadi.

         Zanah sebagai lelaki yang telah bekerja tentu meninggalkan beberapa Rupiah didalam dompetnya, sekian Rupiah pun keluar untuk sekedar membeli cemilan dan minuman agar suasana malam itu terasa semakin akrab. Lantas apa yang terjadi pada Awan, yang memang sangat minim pengalaman dalam hal mikat-memikat. Bebek Zanah menjadi tempat duduk Awan yang berposisikan agak jauh dari perkumpulan ladies-ladies desa. Selain memang karena malu mungkin Awan juga sama sekali tak tertarik pada perawakan ladies-ladies desa itu, handphone adalah alat satu-satunya yang membuat Awan terlihat keren. Mengotak-ngatik handphone memang menjadi jurus andalannya, padahal sungguh tak jelas apa yang dikerjainnya dalam handphone samsung seharga 200 ribua-an itu, hanya sekedar pengecekan *888# yang dia lakukan berulang-ulang kali agar kelihatan sibuk saja. “Tindakan yang sungguh tidak komunikatif”
       Setelah sekian lama tak berbicara “sombong kali kau..!” salah satu wanita berkata mengarah tepat kearah Awan, suara itu pun lantas membuatnya terhentak salah tingkah tak tahu apa yang hendak dikatakan sebagai balasan perkataan wanita itu. Tak ingin di anggap sombong Awan pun menghampiri para gadis-gadis desa, duduk bersila dipinggiran jalan dan beralaskan sandal turut melengkapi suasana malam itu, memang seperti itu gaya Awan tak banyak kata hanya sepatah kata saja yang keluar dari mulutnya. Susah untuk berkata-kata tersebut ternyata hanya berlangsung beberapa menit aja, setelah kehadiran sesosok gadis lainnya yang tiba-tiba muncul ditengah-tengah segerombolan gadis yang memang masih sepertemanan dengan mereka.  
        Terjadilah sebuah daya tarik bak dua kutub magnet yang saling berdekatan, yang menghasilkan gelombang elektromangnetik mencetar membahana. Pandangan mata Awan berkaca-kaca, terlihat jelas tertujuh pada sesosok gadis itu. Tanpa membuang waktu Awan mulai menemukan suaranya kembali mencoba berkomunikasi pada gadis itu. “ lumayan beda cewek ini bah..!” dalam hati awan berkata!, perasaan Awan semakin tak menentu, ntah hantu blauw mana yang merasukinya, tiba-tiba Awan begitu tertarik pada pesona agak ketomboian si gadis yang bertubuhkan tak terlalu tinggi itu. Percakapan diatur sedemikian apiknya untuk menarik perhatiannya, kata yang pertama kali keluar tentu aja mempertanyakan namanya. “Jingga” itulah nama gadis tersebut, aduhh… betapa senangnya perasaan si Awan, mendengar namanya saja membikin senyum di pipi Awan semakin melebar, “apalagi sampai memegang tangannya”, pikir Awan yang semakin tak menentu!.
      “Jingga kamu sekolah dimana, kelas berapa, boleh mintak no hpnya”  pertanyaan ingin tahu itu terlontarkan dari mulut playboy Awan. Kedua jempol Awan serasa tak sabar ingin menekan dua belas dijit no hp si Jingga, begitu angka pertama di bilang, layar handphone Awan langsung tertampil no hp Jingga, begitu seterusnya sampai dua belas no selesai di sebutkan Jingga. Proses pandangan pertama itu terjadi begitu singkat, karena malam semakin menampakan angin penyakitnya di tambah lagi memang suasana malam yang semakin larut, tentu mengisyaratkan Awan dan Zanah untuk segera pulang. Dalam perjalanan diatas motor, pikiran Awan masih tertuju pada sosok Jingga yang begitu menarik perhatiannya. “Terjadi sebuah getaran-getaran asmara pada pandangan pertama”, gejala alam yang memang terjadi tanpa sepengetahuan setiap makhluk-Nya. Dalam tidurnya Awanpun  terasa bagai di taman penuh bunga-bunga nan warna-warni.
        Hari-hari terlewati, seiring dengan perjalanan pendekatan yang dilakukan si Awan. Proses yang begitu cepat bagi mereka untuk bisa saling mengenal lebih jauh, gejala alam itu memang membawa kemudahan untuk Awan dan Jingga. Sebulan lamanya keakraban itu semakin mengarahkan pada maksud hati untuk saling mengadu nasib dalam sebuah wadah asmara bak Habibie dan Ainun, dalam waktu sebulan itu telah banyak terjadi didalam proses peng-hp-an, saling cerita lewat pesan singkat dan TM on ( Gratis nelpon sampai mulut berbui) andalan si Awan!. Walau harus mencuri uang yang di simpan ibu Awan, kadang di balik tilam, di tas, bahkan diatas rak tempat penyimpanan bumbu-bumbu dapur, tega digasak Awan demi pulsa elektronik sebagai media pdkt pada Jingga. “Perbuatan tercelah yang memang menjadi rutinitas Awan dalam pencarian cintanya”!.
        Pagi itu suasana tak begitu cerah, awan di langit tak menampakan sang suryanya. Sinar itu enggan muncul seolah malu melihat segelintir umat manusia yang masih saja enggan memenuhi halaman Masjid, yang menjadi tempat peribadahan umat muslim dalam rangka Shalat Idhul Adha hari atau suasa kurban sapi dan kambing yang hanya terjadi satu kali dalam setahun, keadaan di desa Awan tentu saja menjadi ramai karena banyak sanak saudara yang mudik dari luar kota demi merasakan hari raya haji bersama keluarga besarnya masing-masing. Seusai shalat tentu Awan begegas pulang kerumah, begitu banyak makanan lezat yang tersajikan di dapur, masyarakat di desa Awan memang punya agenda wajib menyediakan makanan lezat di setiap hari-hari besar umat muslim, ada lemang, ketupat, bermacam jenis daging sampai beragam sirup tersedia dengan lengkap. “Sungguh kenikmatan yang tiada didapat pada hari-hari biasanya”!. Tentu yang terut melengkapi kesenangan Awan ialah, dimana hari ini Awan punya janji pada Jingga ingin mengajaknya jalan-jalan. Hari tampak semakin cerah, sang surya hampir diatas ujung ubun-ubun, Awan segera memacu hondanya melesat menuju arah penghunian Jingga. Tanpa membuang waktu lama, tibalah Awan didepan pintu rumah Jingga agak sedikit gugup akhirnya Awan masuk dimana Jingga tampak sudah menanti. Tanpa izin yang pasti dari orang tua Jingga, mereka langsung saja meluncur kearah tujuan perjalanan asmaranya. 
      “Tata” salah satu teman Jingga ikut bersama mereka, agar kiranya tak terjadi kekhawatiran pada ibu Jingga, lantas mengajak Tata adalah salah satu alternative yang bisa diandalkan. Angin yang terbawa akibat laju motor yang Awan kendarain, menambah suasana kegembiraan beserta kecanggungan mereka berdua. Obrolan-obrolan kecil sempat terjadi itu pun hanya sesekali aja, masih ada rasa saling malu diantara Awan dan Jingga. Tentu Awan sangat senang sekali karena sang pujaan hatinya kini berada di satu tempat duduk, perjalanan menyisakan beberapa jam hingga akhirnya sampai ketempat tujuaan. Angin mulai terasa kencang, jelas itu adalah angin pantai diujung sana, sejauh mata memandang tak ada ujung yang pasti terlihat, hamparan pantai putih menambah keindahan alam ciptaan Tuhan. Sungguh “nikmat tuhan kamu mana lagikah yang kamu dustakan”.!
        Duduk berdua di bibir pantai, membuat Awan dan Jingga terlihat masih saling canggung. Keterbukaan belum tercipta, mereka hanya saling memandang lautan nan luas tanpa ujung itu, deburan ombak beserta angin pantai seakan mengalahkan teriknya matahari. Awan perlahan menciptakan suasana romantis obrolan gombal mulai keluar pasti dari mulut Awan. Suara hati mulai tercipta, satu ungkapan perasaan hati Awan pada Jingga terungkapkan, membuat raut pipi Jingga mulai tampak memerah. Terjadilah sebuah ikatan janji diantara mereka suatu ikatan yang tak lagi biasa. Awal mula kisah hati mereka pun tercipta tepat di bibir pantai ini deburan ombak menjadi saksi bisu peresmian hubungan asmara Awan dan Jingga!.
       Jingga kala itu yang masih duduk di kelas 2 SMA telah memiliki pacar Awan yang baru saja lulus SMA, usia mereka berkelang 3 tahun, tentu jarak usia yang masih tergolong wajar. Seiring hari-hari mereka lewati bersama tak ada satu keadaan pun yang terlewatkan, tiada hari tanpa kabar. “Sungguh suatu perjalanan cinta di masa remaja yang penuh dengan khayalan kekhawatiran tingkat dewa”!. Awan sungguh mencintai Jingga gitu juga sebaliknya dengan Jingga, Awan mulai dekat dan mengenal keluarga Jingga lebih intensif. Terasa baru kali ini Awan merasakan kelepasan hidupnya, tanpa beban Awan sering berbuat konyol ke Jingga tampak ingin berusaha buat kekasihnya itu tertawa, proses pencarian jati diri Awan mulai tertemukan sejak berada di sisi Jingga.
          Kisah itu ternyata tak selamanya mulus, jauh dari harapan mereka! Awan yang memang penyandang egois tertinggi, mulai menampakkan sisi kekurang ajarannya itu pada Jingga. Ntah apa juga yang sedang merasuki pikiran Awan, hingga dengan mudahnya memutuskan Jingga secara sepihak. Hal tersebut sulit di mengerti oleh Jingga, yang memang begitu menyayangi sosok Awan. Jingga yang memang baru kala itu mencintai lelaki dengan tulus, tiba-tiba dikhianati oleh Awan dan membuat kesedihan yang begitu mendalam pada dirinya, seolah tak percaya dengan keputusan Awan itu.
        Perpisahan yang memang mengejutkan, peraduan kasih yang memprediksikan sebuah kata kelanggengan ternyata bagai karang yang di hempas terjangan ombak, penuh gonjang-ganjeng melayang jauh terbawa arus. Penyesalan lambat laun di rasakan Awan, penyesalan akan keegoan yang menyesatkan. Kewarasan Awan mulai kembali dia sadari bahwa hanya Jingga tempat peraduan kasih yang paling nyaman, “andai waktu bisa terulang kembali pasti tak akan aku buat kesalahan terburuk itu”, pikir Awan dalam lamunan malamnya!. Bujuk rayu kini dia lakukan pada Jingga, berharap Jingga akan segera memaafkan kesalahannya. Tentu seorang gadis seperti Jingga akan merasa sakit hati dengan apa yang telah di perbuat Awan, tetapi itulah hebatnya jiwa Jingga, walaupun di khianati ia tetap setia menahan luka hatinya.
       Status hubungan kini kembali pada jalur asmara seperti layaknya pertama kali mereka bertemu, permohonan maaf Awan di terima dengan mudahnya oleh Jingga. Hari demi hari bulan demi bulan mereka lewati penuh keharmonisan, memberikan hubungan yang tak begitu romantis namun penuh dilema pengagungan melankolik pada diri Awan dan Jingga. “Suatu kisah peraduan kasih yang penuh drama”!. 
         Hingga tiba suatu masa dimana Awan ingin melanjutkan pendidikannya, merantau ke kota Medan itulah keinginan Awan demi memperbaiki kualitas hidupnya di masa depan. Yang selama ini di rasa dia sangat menjenuhkan terkukung di perkampungan yang di diami makhluk-makhluk ciptaan Tuhan, yang setiap harinya tak pernah berubah. Siang hari makhluk-makhluk keturunan Adam itu mencari peghidupan di ladang-ladang perkebunan kelapa sawit, sedangkan malam harinya menyisakan suasana sunyi, gelap gulita bagai tak ada kehidupan. Satu tahun  menganggur setelah lulus SMA menciptakan pengalaman pergaulan yang cukup luas bagi Awan, pergaulan antara sesama pemuda, orang tua, kakek, nenek telah ia rangkul bersama, masa satu tahun hanya di pergunakan untuk mengespresikan kenakalan-kenakalan fatamorgana. “Saatnya menuju masa depan, menuju perguruan tinggi yang mulia” pikir awan saat itu!.
        Jingga yang tahu akan hal itu tentu membuatnya sedih, suatu bayangan akan jauh dari sang pujaan hatinya. Awan harus mampu menenangkan dan memberikan penjelasan pada Jingga. Dengan persiapan cukup matang, malam itu Awan menuju kerumah gadis pujaannya. Kendaraan Honda 90-an menjadi saksi perjalanan sunyi si Awan, udara terasa dingin mencekam, jaket Awan seolah tak mampu menahan angin liar itu, memacu menerobos kegelapan yang gelap gulita, suara serangga malam menjadi teman musik dalam perjalanannya. Rumah Jingga yang berjarak berkisar 15 km-an, ternyata menyisakan suasana sunyi ala desa pelosok, melewati semak belukar, lengkap dengan jembatan gantung yang menantang adrinalin. Buat Awan tak jadi masalah, buktinya berapa puluh malam minggu ia lewati demi berjumpa sang gadis pujaannya itu. Suatu situasi perjumpaan paling romantis terjadi pada mereka, karena malam itu tampaknya menjadi malam perpisahan untuk Awan yang akan segera berangkat ke Medan, walau tak ada air mata yang terlihat di wajah Jingga, Awan percaya pasti hati kecil Jingga merasa sedih mendengar kepergian Awan.  
          Peristiwa di subuh hari adalah suasana paling terindah, terdengar sautan suara ayam membangunkan setiap penghidupan di alam semesta, suara putaran kaset ngaji dan selang beberapa menit kemudian adzan berkumandang dari salah satu mesjid dekat rumah Awan. Waktunya setiap insan melakukan ritual ibadah shalat subuh, begitulah seharusnya. Namun lain halnya pada Awan, yang tak pernah mau bersembayang. Ya.. mungkin setan masih begitu kuat merasuki hatinya, makanya setiap di perintahkan oleh Ayah dan Ibunya, Awan selalu membantah. “Sungguh perbuatan anak yang tak shaleh”.
        Tas ransel dengan beberapa tumpuk pakaian sudah tersusun rapi di dalamnya, dengan pakaian paling bagus yang ia punya, kini Awan siap untuk pergi. Tinggal di kota Medan nantinya, tentu akan ada suasa baru yang penuh dengan keramaian, “pikir awan yang sudah tak sabar ingin pergi”. Ibu Awan lantas berpesan, hati-hati ya nak..! suatu ungkapan tulus yang terucap dari mulut sang ibu, tentu membuat keterharuan yang mendalam pada Awan. Kini bis bewarna kuning itu telah datang, saatnya Awan harus pergi meninggalkan desanya. Lambaian tangan tersimpul dari balik dinding kaca bis yang Awan naiki, sedih dan juga terharu melihat Ayah, Ibu, ponakan, kawan dan seluru keluarga beserta bangunan-bangunan di desa Awan kini mulai tampak menjauh dari pandangannya. “Tunggu aku Medan”, perasaan Awan seakan tak sabar ingin segera sampai kesana.
        Suara bising terdengar dimana-mana, tiinn….tiinn…tiinn.. suara klakson saling bersahutan, cuaca terik di tambah asap kendaraan bermotor semakin membuat suasana Kota Medan tampak sibuk dengan gelar Metrapolitannya, seakan tak ada henti-hentinya pagi, siang dan malam sama saja tak menyisakan sunyi sedikit pun. Kepala Awan terasa pusing mendengar suara bising itu, “Bagusan di kampong kalau kayak gini” pikir Awan dengan keadaan pusing akan suasana Medan yang seakan penuh dengan kegaduan. Awan yang telah sampai di Medan, ternyata terheran-heran karena baru kali pertamanya menginjak bumi Ibu kota Sumut, gedung-gedung tinggi seperti ini tentu tak akan di temui di desa Awan.
          Keesoakan harinya Awan mencari-cari perguruan tinggi mana yang nantinya ia masuki, dengan di temani saudara kandungnya proses pencarian itu pun terjadi. Dengan sikap pesimisnya, Awan merasa tak sanggup lagi bila harus masuk ke Perguruan Tinggi Negeri, makanya pikiran Awan hanya tertujuh pada Perguruan Tinggi Swasta saja.! Singkat cerita Awan menetapkan pilihannya di salah satu Universitas Muhammadiyah yang sedang tenar dan di serbu ribuan manusia. Kini hidup Awan telah terbiasa dengan suasana Medan, tinggal di dalam rumah kontrakan menyisakan banyak teman yang Awan kenal. Begitu terus yang terjadi, aktivitas perkuliahan menjadi rutinitas kesehariannya.
          Awan lupa bahwa selama keberadaannya di Medan, membuat Jingga merasa cemas karena tak kunjung ada kabar. Tentu wajar bila Jingga sangat sedih karena kekasihnya itu telah berubah tak lagi pernah perhatiaan ataupun sekedar menanyakan kabar Jingga. Jingga merasa dikhianati dan begitu sedih, Awan yang dulunya berpesan bahwa ia akan berkirim kabar ternyata tak sedikit pun terbukti. Hubungan mereka akhirnya terputus kembali karena keadaan Awan yang semakin sibuk dengan kuliahnya. “Menyisakan kesedihan kembali pada diri Jingga”.
        Suatu saat nanti pesan rindu ini akan tersampaikan, melalui perantara angin. Untuk saat ini mungkin kita tak di takdirkan untuk saling berkirim kabar, tetapi yakinlah rasa ini, perasaan ini masih sama seperti saat pertama kali bertemu. Temukan pencarian hidupmu Jingga, carilah jalan hidupmu sendiri. Tak apa bila engkau harus melupakan aku, itu sudah menjadi suratan takdir. Awan di atas sana menjadi saksi bahwa aku selalu merindukanmu, wahai Jinggaku jadikanlah dirimu wanita yang penuh dengan kemanfaatan di dunia dan di akhirat kelak. “Puisi rindu untukmu Jinggaku”. 
Restu Syahputra
Medan April 2013

0 Reviews

Contact form

Nama

Email *

Pesan *